Kamis, 14 Maret 2013

Akad Dalam Asuransi Syariah




Lafal akad, berasal dari lafal Arab al- ‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan pemufakatan al-ittifaq. Secara terminologi fiqh, akad didefinisikan dengan:

Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikataan.

Pencantuman kalimat yang sesuai dengan kehendak syariat maksudnya adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak yang lain (yang menyatakan qabul).

Dalam teori hukum kontrak  secara syariah (nazarriyati al-`uqud), setiap terjadi transaksi, maka akan terjadi salah satu dari tiga hal berikut, pertama kontraknya sah, kedua kontraknya fasad dan ketiga aqadnya batal. Untuk melihat kontrak itu jatuhnya kemana, maka perlu diperhatikan instrumen mana dari aqad yang dipakai dan bagaimana aplikasikasinya.

Az-Zarqa menyatakan bahwa dalam pandangan syara’ suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Oleh sebab itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan dalam suatu pernyataan. Pernyataan pihak-pihak yang berakad itu disebut ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang mengandung keinginannya secara pasti untuk mengikatkan diri. Sedangkan qabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukkan persetujuannya untuk mengikatkan diri. Atas dasar ini, lanjut Az-Zarqa’, setiap pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang ingin mengikatkan diri dalam suatu akad disebut mujib (pelaku ijab) dan setiap pernyataan kedua yang diungkapkan pihak lain setelah ijab disebut qabil (pelaku qabul); tanpa membedakan antara pihak mana yang memulai pernyataan pertama itu. 

Misalnya dalam akad jual beli, jika pernyataan untuk melakukan jual beli datangnya dari penjual, maka penjual disebut dengan mujib sedangkan pembeli disebut dengan qabil. Pernyataan ijab tidak selalu datangnya dari pembeli, melainkan boleh juga dari penjual. Apabila ijab dan qabul telah memenuhi syarat-syaratnya, sesuai dengan ketentuan syara’, maka terjadilah perikatan antara pihak-pihak yang melakukan ijab dan qabul dan muncullah segala akibat hukum dari akad yang disepakati itu. Dalam kasus jual beli, misalnya, akibatnya adalah berpindahnya pemilikan barang dari penjual kepada pembeli dan penjual berhak menerima harga barang. Dalam akad ar-rahn (jaminan utang), misalnya, pihak penerima jaminan berhak untuk menguasai barang jaminan (al-marhun) sebagai jaminan utang dan pihaknya yang menjamin barang (al-rahin) berkewajiban melunasi utangnya. Ijab dan qabul ini, dalam istilah fiqh disebut juga dengan shighat al-‘aqd (ungkapan/pernyataan akad)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya yang terkenal  Majmu` Fatawa mengatakan: “Akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Sebab pada asalnya harta seseorang muslim lain itu tidak halal, kecuali jika dipindahkan haknya dengan kesukaan hatinya (kerelaan). Akan tetapi hatinya tidak akan suka, kecuali apabila ia berikan miliknya itu dengan kerelaan bukan terpaksa, dengan ketulusan bukan karena tertipu atau terkecoh. Keadilan itu diantaranya ada yang jelas dapat diketahui oleh setiap orang dengan akalnya, seperti halnya pembeli wajib menyerahkan harga dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli secara jelas, dan dilarang berbuat curang dalam menakar dan menimbang, wajib jujur dan berterus terang, haram berbuat bohong dan berkhianat, dan bahwa hutang itu mesti dibalas dengan melunasinya dan mengucapkan pujian.

Untuk maksud itu maka akad-akad dalam mu`amalah sangat luas  sampai mencakup segala apa saja yang dapat merealisir kemaslahatan-kemaslahatan. Sebab mu`amalah pada dasarnya adalah boleh dan tidak terlarang, dan kaidah-kaidahnya memberi kemungkinan mengadakan macam-macam akad baru yang dapat merealisir pola-pola mu`amalah baru pula. Hal inilah yang merupakan kemudahan, keluasan dan keuniversalan ajaran Islam.

Namun demikian kejelasan akad dalam praktek muamalah penting dan menjadi prinsip karena akan menentukan sah tidaknya mu`amalat tersebut secara syar`i. Apakah akad yang dipakai adalah akad jual-beli (tabaduli), akad as-Salam (meminjamkan barang), akad Syirkah (kerjasama), akad Muzara`ah (pengelolaan tanah dan bagi hasil),akad Ijarah (sewa), Mudharabah, Wakalah dan seterusnya

Demikian pula halnya dalam asuransi, akad antara perusahaan dan peserta harus jelas. Apakah akadnya jual beli (aqd tabaduli) atau akad tolong-menolong (aqd takafuli) atau akad lainnya seperti yang disebutkan diatas. Dalam asuransi biasa (konvensional) terjadi kerancuan/ketidakjelasan dalam masalah akad. Pada asuransi konvensional akad yang melandasinya semacam akad jual beli (aqd tabaduli). Karena akadnya adalah akad jual beli, maka syarat-syarat dalam akad tersebut harus terpenuhi dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan syariah.

Syarat-syarat dalam transaksi jual beli adalah adanya penjual, pembeli, barang yang diperjualbelikan, harga dan akadnya 

Pada asuransi konvensional, penjual, pembeli, barang yang diperjualbelikan atau yang akan diperoleh serta ijab kabul (akad) jelas, akan tetapi yang menjadi masalah adalah harganya (berapa besar premi yang akan dibayar) kepada perusahaan asuransi.

Padahal hanya Allah yang tahu tahun berapa kita meninggal. Jadi pertanggungan yang akan diperoleh sesuai dengan yang diperjanjikan ini jelas, akan tetapi jumlah yang akan dibayarkan menjadi tidak jelas, tergantung usia kita, dan hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Firman Allah SWT:  Maa-ashoba minmushibah illa bi-idznillah “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah”

Terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh dalam menentukan rukun suatu akad. Jumhur ulama fiqh menyatakan rukun akad terdiri atas:
1.       Pernyataan untuk mengikatkan diri (shighat al-‘aqd)
2.       Pihak-pihak yang berakad (al-muta’aqidain
3.       Obyek akad (al-ma’qud ‘alaih)

Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa rukun akad itu hanya satu, yaitu shighat al-‘aqd (ijab dan qabul), sedangkan pihak-pihak yang berakad dan obyek akad, menurut mereka, tidak termasuk rukun akad, tetapi termasuk syarat-syarat akad, karena menurut mereka,  yang dikatakan rukun itu adalah suatu esensi yang berada dalam akad itu sendiri, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan obyek akad berada diluar esensi akad.

Shighat al-‘aqd merupakan rukun akad yang terpenting, karena melalui pernyataan inilah diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad. shighat al-‘aqd ini diwujudkan melalui ijab dan qabul. Dalam kaitannya dengan ijab dan qabul ini, para lama fiqh mensyaratkan:
  1. Tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad, yang dikehendaki, karena akad-akad itu sendiri berbeda dalam sasaran dan hukumnya.
  2. Antara ijab dan qabul itu  terdapat kesesuaian
  3. Pernyataan ijab dan qabul itu mengacu kepada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti, tidak ragu-ragu.

Ijab dan qabul ini bisa berbentuk perkataan, tulisan, perbuatan, dan isyarat. Dalam akad jual beli, misalnya, pernyataan ijab diungkapkan dengan perkataan “saya jual buku ini dengan harga Rp. 10.000”, dan pihak lainnya menyatakan qabul dengan perkataan “saya beli buku ini dengan harga Rp. 10.000”. pernyataan ijab dan qabul melalui tulisan juga demikian, dan harus memenuhi ketiga syarat yang dikemukakan di atas. Dalam pernyataan kehendak untuk melakukan suatu akad melalui tulisan ini, para ulama membuat suatu kaidah fiqh yang menyatakan bahwa:

“Tulisan itu sama dengan ungkapan lisan”

Artinya, pernyataan yang jelas yang dituangkan dalam bentuk tulisan, kekuatan hukumnya sama dengan ungkapan langsung melalui lisan

Dalam buku Panduan Syarikat Takaful Malaysia, dijelaskan tentang rukun-rukun akad: (1) Aqid, yaitu pihak-pihak yang mengadakan Aqd (misalnya Takaful dan peserta  ), (2) Ma`kud `alaihi yaitu sesuatu yang diakadkan atasnya (barang dan bayaran), dan (3) Sighah (ijab dan kabul). Ma`kud `alaihi dalam asuransi konvensional oleh ulama dianggap masih gharar, karena akad yang melandasinya adalah aqdun muawadotun maliyatun (kontrak pertukaran harta benda) atau aqd tabaduli (akad jual beli).

Sementara itu pada asuransi syariah, akad yang melandasinya  bukan akad jual beli (aqd tabaduli), atau akad mu`awadhah sebagaimana halnya pada asuransi konvensional,   tetapi akad tolong menolong (Aqd takafuli), dengan menciptakan instrumen baru untuk menyalurkan dana kebajikan melalui akad tabarru` (hibah).

Majelis Ulama Indonesia, melalui Dewan Syariah Nasional, mengeluarkan fatwa khusus tentang: Pedoman Umum Asuransi Syariah sebagai berikut:

Pertama:   Ketentuan Umum
  1. Asuransi Syariah (Ta`min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindung dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru` yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
  2. Akad yang sesuai dengan  syariah yang dimaksud pada poin (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba (bunga), zulmu (Penganiayaan), riswah (suap), barang haram dan maksiat.
  3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersil.
  4. Akad tabarru` adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersil.
  5. Premi adalah kewajiban peserta untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
  6. Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib dibeh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad
Kedua:  Akad Dalam Asuransi
  1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan atau akad tabarru`.
  2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah, sedangkan akad tabarru` adalah hibah.
  3. Dalam akad sekurang-kurangnya disebutkan:
  • Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan
  • Cara dan waktu pembayaran premi
  • Jenis akad tijarah dan atau akad tabarru` serta syarat-syarat yang disepakati sesuai  dengan jenis asuransi yang diakad.
Ketiga:  Kedudukan Para Pihak Dalam Akad Tijarah dan Tabarru`
  1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai sohibul mal (pemegang polis).
  2. Dalam akad tabarru` (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan   untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan sebagai pengelola dana hibah

Keempat:  Ketentuan Dalam Akad Tijarah dan Tabarru`
  1. Jenis akad tijarah dapat dirubah menjadi jenis akad tabarru` bila pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya
  2. Jenis akad tabarru` tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah

Kelima: Jenis Asuransi dan Akadnya
  1. Dipandang dari segi jenis, asuransi itu terdiri atas asuransi ketugian dan asuransi jiwa.
  2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah

Keenam: Premi
  1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru`
  2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi dapat menggunakan rujukan table mortalita untuk asuransi jiwa dan table morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukan unsur riba dalam perhitungannya.
Fatwa tersebut diatas, sementara ini merupakan acuan bagi perusahaan asuransi syariah di Indonesia terutama menyangkut bagaimana akad-akad dalam bisnis asuransi syariah  dan ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengannya.

Pada suatu kesempatan, kami diskusi dengan Doktor Jafril Khalil dalam kaitan Fatwa DSN-MUI diatas, beliau pakar asuransi syariah yang kebetulan disertasi doktornya tentang akad-akad asuransi. Kami berkesimpulan bahwa akad-akad dalam asuransi syariah tidak hanya sebatas pada akad Tabarru` dan mudharabah saja, akan tetapi beberapa akad-akad tijarah lainya yang ada dalam fiqh Islam, seperti misalnya al-musyarakah, al-wakalah, al-wadiah, asy-Syirkah, al-Musamahah, dan sebagainya dibenarkan oleh syara` untuk digunakan dalam asuransi syariah. Tinggal yang menjadi kajian managemen apakah marketable atau tidak.

M.M. Billah, dalam kaitan dengan akad-akad dalam asuransi syariah, lebih cenderung tidak menggunakan istilah tabarru`, tapi menggunakan  istilah al-musahamah (contribution/kontribusi). Hal ini mungkin sebagai solusi dari perdebatan bahwa dalam akad tabarru` tidak boleh ada pengembalian  lagi (mudharabah). Karena premi (tabarru`) sudah diikhlaskan dan hanya mengharapkan ridha Allah swt. Sementara dalam prakteknya pada asuransi syariah saat ini., terutama pada term insurance (life) dan pada seluruh produk general insurance terdapat yang disebut mudharabah, yang diberikan kepada nasabah apabila tidak terjadi klaim. Disini terjadi kerancuan karena disatu sisi dikatakan bahwa pada akad tabarru` tidak mengharapkan pengembalian kecuali pahala dari Allah, tapi dalam prakteknya nasabah mendapat pengembalian berupa mudharabah (bagi hasil) jika tidak terjadi klaim.

Berdasarkan hukum Islam untuk membuat polis takaful (asuransi syariah) harus ada subyek pokok yang beresiko, yang mana atas subyek pokok tersebut, dua pihak (pengelola dan peserta) harus menyetujui proposal (ijab) dan persetujuan (qabul) yang mana kedua pihak setuju untuk berbagi tanggung jawab dalam menyediakan jaminan materi yang memadai terhadap resiko yang nyata tapi tidak terduga atas subyek pokok. Dengan kata lain ketentuan dalam polis takaful (asuransi syariah) adalah proposal (ijab), penerimaan (qabul), penerbitan cover note (dokumen sementara untuk polis yang disediakan pengelola bagi peserta) dan pembayaran takaful kontribusi (al-musahamah).

Al Zuhaili juga dalam kitabnya menjelaskan tentang Syarikat al-Musahamah. Syarikat Al Musahamah kata syaikh al-Zuhaili adalah merupakan salah satu jenis syarikat harta (syarikah al amwal) yang penting. Modal syarikat ini adalah terdiri dari modal-modal kecil yang jumlahnya banyak, dan dimana setiap bagian tersebut disebut saham, yang tidak boleh diperkecil lagi kecuali ditukarkan. Tanggung jawab pemegang saham hanya sebesar saham yang dimilikinya. Pengelola dan karyawannya  digaji sebagai pegawai, tidak terkecuali apakah dia sekaligus juga adalah salah satu pemegang saham.

Agus Haryadi memberi ilustrasi tentang konsep al-musahamah seperti ketika kita ingin main bola, kemudian masing-masing iuran atau kontribusi sesuai kemampuan yang dimiliki untuk keperluan bersama yaitu beli bola. Kemudian bola terbelih dan dipakailah bersama. Setelah permainan selesai kemudian bola tadi diberikan kepada seorang diantaranya untuk dibawa pulang. Demikian seterusnya kadang bola tersebut dipakai lagi bersama dan tidak jarang hanya dipakai salah satu atau beberapa saja diantara mereka.

Konsep akad al-musamahah seperti ini lebih mirip dengan konsep asuransi yang sementara ini banyak dipakai oleh asuransi syariah yang ada di beberapa negara termasuk di Indonesia.

Dengan melandaskan diri pada prinsip takafuli, asuransi syariah (terutama untuk asuransi jiwa) menerapkan dua bentuk akad diawal penerimaan premi, yakni akad tabungan investasi dan akad kontribusi. Akad tabungan investasi berdasarkan prinsip al-mudharabah sementara kontribusi berdasarkan prinsip hibah. Hibah ini dilakukan secara berjamaah dan mengandung efek saling menanggung. Besarnya hibah sekitar 5% dari total premi, selebihnya (95%) akan masuk ke dalam tabungan investasi nasabah. Perusahaan asuransi syariah akan menempatkan dana tabungan dan kontribusi tadi pada proyek-proyek investasi yang halal dan menguntungkan.

Sumber: Dikutip dari buku, Muhammad Syakir Sula, “Asuransi Syariah (Life and General) – Konsep dan Sistem Operasional”, Penerbit  Gema Insani, Jakarta, 2004, Bab II, hal 38-46. 
Red: Danu

Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional


 

Ada tujuh perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional.

Perbedaan tersebut adalah:
1.  Asuransi syari'ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang  betugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
  1. Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari'ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli
  2. Investasi dana pada asuransi syari'ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya
  3. Kepemilikan dana pada asuransi syari'ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
  4. Dalam mekanismenya, asuransi syari'ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk tabarru'.
  5. Pembayaran klaim pada asuransi syari'ah diambil dari dana tabarru' (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
  6. Pembagian keuntungan pada asuransi syari'ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.
Sumber: Asuransisyariah.net
red: danu

Tahun ini, dua pemain baru tekuni asuransi syariah

 Tahun ini, dua pemain baru tekuni asuransi syariah
JAKARTA. Industri asuransi syariah tahun ini akan kedatangan dua pemain baru. Dua perusahaan asuransi umum,  yaitu Pan Pacific Insurance (Panfic) dan Asuransi Wahana Tata berencana ikut berkecimpung dengan mendirikan unit usaha syariah.

Saat ini, ada 43 perusahaan yang meramaikan persaingan bisnis asuransi syariah. Junaidi, Wakil Presiden Direktur Panfic, mengatakan, pihaknya masih memproses pengajuan izin pendirian unit usaha syariah ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Junaidi optimistis, unit usaha baru itu akan mulai beroperasi pada bulan Maret-April 2013, karena sudah mendapat restu Dewan Pengawas Syariah (DPS). "Mudah-mudahan kisaran itu sudah jalan," katanya, Kamis (10/1).

Untuk mendirikan unit syariah, Panfic menganggarkan modal Rp 25 miliar. Setelah satu tahun berdiri dan fokus pada asuransi kendaraan bermotor, maka target kontribusi preminya mencapai Rp 15 miliar. 
Fokus disesuaikan dengan kontribusi terbesar Panfic yang 60% premi berasal dari asuransi kendaraan bermotor. "Ini menggarap pasar eksisting," ujar Junaidi.

Diharapkan unit syariah ini akan mampu menggenjot perolehan premi Panfic pada 2013, yang ditargetkan Rp 407 miliar. Tahun lalu, perolehan premi Panfic tidak mencapai target Rp 300 miliar dan hanya sebesar Rp 250 miliar. Kegagalan itu akibat aturan uang muka kredit kendaraan bermotor dan penetapan target yang terlalu optimis.

Sementara Wahana Tata masih memproses izin. "Dalam tahap pengumpulan dokumen persyaratan," ujar Eddy Candra, Direktur Keuangan Wahana Tata.

Tanpa mengatakan modal awal dan target pendapatan, Eddy bilang, unit syariah Wahana Tata menekuni asuransi kendaraan, properti, dan kecelakaan diri. Unit ini diharapkan mengerek perolehan premi yang hingga akhir September 2012 mencapai Rp 1,175 triliun. Jumlah itu naik 26% dibandingkan tahun lalu sebesar Rp 932 miliar.

Srikandi Utami, Wakil Ketua Bidang Statistik Asosiasi Asuransi Syariah (AASI), berharap dua pemain baru itu akan menjadikan industri syariah semakin kompetitif dan mengerek penetrasi asuransi syariah yang masih mini.

Hingga September 2012, total aset usaha asuransi dan reasuransi syariah mencapai Rp 11,4 triliun. Jumlah itu 3,54% total aset industri asuransi sebesar Rp 322,2 triliun. Pada periode sama, premi bruto industri asuransi dan reasuransi syariah Rp 4,5 triliun, naik 52,9% dari 2011.

sumber: keuangankonten.co.id