Lafal akad, berasal dari lafal Arab al- ‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan pemufakatan al-ittifaq. Secara terminologi fiqh, akad didefinisikan dengan:
“Pertalian ijab (pernyataan melakukan
ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak
syariat yang berpengaruh pada obyek perikataan.
Pencantuman kalimat yang sesuai dengan
kehendak syariat maksudnya adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan
oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan
dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi
riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Sedangkan
pencantuman kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya adalah
terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab)
kepada pihak yang lain (yang menyatakan qabul).
Dalam teori hukum kontrak secara syariah
(nazarriyati al-`uqud), setiap terjadi transaksi, maka akan terjadi
salah satu dari tiga hal berikut, pertama kontraknya sah, kedua kontraknya fasad dan ketiga
aqadnya batal. Untuk melihat kontrak itu jatuhnya kemana, maka perlu
diperhatikan instrumen mana dari aqad yang dipakai dan bagaimana
aplikasikasinya.
Az-Zarqa menyatakan bahwa dalam pandangan
syara’ suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua
atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri.
Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya
tersembunyi dalam hati. Oleh sebab itu, untuk menyatakan kehendak
masing-masing harus diungkapkan dalam suatu pernyataan. Pernyataan
pihak-pihak yang berakad itu disebut ijab dan qabul. Ijab adalah
pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang
mengandung keinginannya secara pasti untuk mengikatkan diri. Sedangkan
qabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukkan
persetujuannya untuk mengikatkan diri. Atas dasar ini, lanjut Az-Zarqa’,
setiap pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang
ingin mengikatkan diri dalam suatu akad disebut mujib (pelaku ijab) dan
setiap pernyataan kedua yang diungkapkan pihak lain setelah ijab disebut
qabil (pelaku qabul); tanpa membedakan antara pihak mana yang memulai
pernyataan pertama itu.
Misalnya dalam akad jual beli, jika pernyataan
untuk melakukan jual beli datangnya dari penjual, maka penjual disebut
dengan mujib sedangkan pembeli disebut dengan qabil. Pernyataan ijab
tidak selalu datangnya dari pembeli, melainkan boleh juga dari penjual.
Apabila ijab dan qabul telah memenuhi syarat-syaratnya, sesuai dengan
ketentuan syara’, maka terjadilah perikatan antara pihak-pihak yang
melakukan ijab dan qabul dan muncullah segala akibat hukum dari akad
yang disepakati itu. Dalam kasus jual beli, misalnya, akibatnya adalah
berpindahnya pemilikan barang dari penjual kepada pembeli dan penjual
berhak menerima harga barang. Dalam akad ar-rahn (jaminan utang),
misalnya, pihak penerima jaminan berhak untuk menguasai barang jaminan
(al-marhun) sebagai jaminan utang dan pihaknya yang menjamin barang
(al-rahin) berkewajiban melunasi utangnya. Ijab dan qabul ini, dalam
istilah fiqh disebut juga dengan shighat al-‘aqd (ungkapan/pernyataan akad)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya yang terkenal Majmu` Fatawa mengatakan:
“Akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan
menjauhkan penganiayaan. Sebab pada asalnya harta seseorang muslim lain
itu tidak halal, kecuali jika dipindahkan haknya dengan kesukaan hatinya
(kerelaan). Akan tetapi hatinya tidak akan suka, kecuali apabila ia
berikan miliknya itu dengan kerelaan bukan terpaksa, dengan ketulusan
bukan karena tertipu atau terkecoh. Keadilan itu diantaranya ada yang
jelas dapat diketahui oleh setiap orang dengan akalnya, seperti halnya
pembeli wajib menyerahkan harga dan penjual menyerahkan barang jualannya
kepada pembeli secara jelas, dan dilarang berbuat curang dalam menakar
dan menimbang, wajib jujur dan berterus terang, haram berbuat bohong dan
berkhianat, dan bahwa hutang itu mesti dibalas dengan melunasinya dan
mengucapkan pujian.
Untuk maksud itu maka akad-akad dalam mu`amalah sangat luas sampai mencakup segala apa saja
yang dapat merealisir kemaslahatan-kemaslahatan. Sebab mu`amalah pada
dasarnya adalah boleh dan tidak terlarang, dan kaidah-kaidahnya memberi
kemungkinan mengadakan macam-macam akad baru yang dapat merealisir
pola-pola mu`amalah baru pula. Hal inilah yang merupakan kemudahan,
keluasan dan keuniversalan ajaran Islam.
Namun demikian kejelasan akad dalam praktek
muamalah penting dan menjadi prinsip karena akan menentukan sah
tidaknya mu`amalat tersebut secara syar`i.
Apakah akad yang dipakai adalah akad jual-beli (tabaduli), akad
as-Salam (meminjamkan barang), akad Syirkah (kerjasama), akad Muzara`ah
(pengelolaan tanah dan bagi hasil),akad Ijarah (sewa), Mudharabah,
Wakalah dan seterusnya
Demikian pula halnya dalam asuransi, akad antara perusahaan dan peserta harus jelas. Apakah akadnya jual beli (aqd tabaduli) atau akad tolong-menolong (aqd takafuli)
atau akad lainnya seperti yang disebutkan diatas. Dalam asuransi biasa
(konvensional) terjadi kerancuan/ketidakjelasan dalam masalah akad. Pada
asuransi konvensional akad yang melandasinya semacam akad jual beli (aqd tabaduli).
Karena akadnya adalah akad jual beli, maka syarat-syarat dalam akad
tersebut harus terpenuhi dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan
syariah.
Syarat-syarat dalam transaksi jual beli adalah adanya penjual, pembeli, barang yang diperjualbelikan, harga dan akadnya
Pada asuransi konvensional, penjual,
pembeli, barang yang diperjualbelikan atau yang akan diperoleh serta
ijab kabul (akad) jelas, akan tetapi yang menjadi masalah adalah harganya (berapa besar premi yang akan dibayar) kepada perusahaan asuransi.
Padahal hanya Allah yang tahu tahun berapa
kita meninggal. Jadi pertanggungan yang akan diperoleh sesuai dengan
yang diperjanjikan ini jelas, akan tetapi jumlah yang akan dibayarkan
menjadi tidak jelas, tergantung usia kita, dan hanya Allah yang tahu
kapan kita meninggal. Firman Allah SWT: Maa-ashoba minmushibah illa bi-idznillah “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah”
Terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh
dalam menentukan rukun suatu akad. Jumhur ulama fiqh menyatakan rukun
akad terdiri atas:
1. Pernyataan untuk mengikatkan diri (shighat al-‘aqd)
2. Pihak-pihak yang berakad (al-muta’aqidain
3. Obyek akad (al-ma’qud ‘alaih)
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa rukun akad itu hanya satu, yaitu shighat al-‘aqd (ijab
dan qabul), sedangkan pihak-pihak yang berakad dan obyek akad, menurut
mereka, tidak termasuk rukun akad, tetapi termasuk syarat-syarat akad,
karena menurut mereka, yang dikatakan rukun itu adalah suatu esensi
yang berada dalam akad itu sendiri, sedangkan pihak-pihak yang berakad
dan obyek akad berada diluar esensi akad.
Shighat al-‘aqd merupakan rukun akad yang terpenting, karena melalui pernyataan inilah diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad. shighat al-‘aqd ini diwujudkan melalui ijab dan qabul. Dalam kaitannya dengan ijab dan qabul ini, para lama fiqh mensyaratkan:
- Tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad, yang dikehendaki, karena akad-akad itu sendiri berbeda dalam sasaran dan hukumnya.
- Antara ijab dan qabul itu terdapat kesesuaian
- Pernyataan ijab dan qabul itu mengacu kepada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti, tidak ragu-ragu.
Ijab dan qabul ini bisa berbentuk
perkataan, tulisan, perbuatan, dan isyarat. Dalam akad jual beli,
misalnya, pernyataan ijab diungkapkan dengan perkataan “saya jual buku
ini dengan harga Rp. 10.000”, dan pihak lainnya menyatakan qabul dengan
perkataan “saya beli buku ini dengan harga Rp. 10.000”. pernyataan ijab
dan qabul melalui tulisan juga demikian, dan harus memenuhi ketiga
syarat yang dikemukakan di atas. Dalam pernyataan kehendak untuk
melakukan suatu akad melalui tulisan ini, para ulama membuat suatu
kaidah fiqh yang menyatakan bahwa:
“Tulisan itu sama dengan ungkapan lisan”
Artinya, pernyataan yang jelas yang
dituangkan dalam bentuk tulisan, kekuatan hukumnya sama dengan ungkapan
langsung melalui lisan
Dalam buku Panduan Syarikat Takaful Malaysia, dijelaskan tentang rukun-rukun akad: (1) Aqid, yaitu pihak-pihak yang mengadakan Aqd (misalnya Takaful dan peserta ), (2) Ma`kud `alaihi yaitu sesuatu yang diakadkan atasnya (barang dan bayaran), dan (3) Sighah (ijab dan kabul). Ma`kud `alaihi dalam asuransi konvensional oleh ulama dianggap masih gharar, karena akad yang melandasinya adalah aqdun muawadotun maliyatun (kontrak pertukaran harta benda) atau aqd tabaduli (akad jual beli).
Sementara itu pada asuransi syariah, akad yang melandasinya bukan akad jual beli (aqd tabaduli), atau akad mu`awadhah sebagaimana halnya pada asuransi konvensional, tetapi akad tolong menolong (Aqd takafuli), dengan menciptakan instrumen baru untuk menyalurkan dana kebajikan melalui akad tabarru` (hibah).
Majelis Ulama Indonesia, melalui Dewan
Syariah Nasional, mengeluarkan fatwa khusus tentang: Pedoman Umum
Asuransi Syariah sebagai berikut:
Pertama: Ketentuan Umum
- Asuransi Syariah (Ta`min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindung dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru` yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
- Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada poin (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba (bunga), zulmu (Penganiayaan), riswah (suap), barang haram dan maksiat.
- Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersil.
- Akad tabarru` adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersil.
- Premi adalah kewajiban peserta untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
- Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib dibeh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad
Kedua: Akad Dalam Asuransi
- Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan atau akad tabarru`.
- Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah, sedangkan akad tabarru` adalah hibah.
- Dalam akad sekurang-kurangnya disebutkan:
- Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan
- Cara dan waktu pembayaran premi
- Jenis akad tijarah dan atau akad tabarru` serta syarat-syarat yang disepakati sesuai dengan jenis asuransi yang diakad.
Ketiga: Kedudukan Para Pihak Dalam Akad Tijarah dan Tabarru`
- Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai sohibul mal (pemegang polis).
- Dalam akad tabarru` (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan sebagai pengelola dana hibah
Keempat: Ketentuan Dalam Akad Tijarah dan Tabarru`
- Jenis akad tijarah dapat dirubah menjadi jenis akad tabarru` bila pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya
- Jenis akad tabarru` tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah
Kelima: Jenis Asuransi dan Akadnya
- Dipandang dari segi jenis, asuransi itu terdiri atas asuransi ketugian dan asuransi jiwa.
- Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah
Keenam: Premi
- Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru`
- Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi dapat menggunakan rujukan table mortalita untuk asuransi jiwa dan table morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukan unsur riba dalam perhitungannya.
Fatwa tersebut diatas, sementara ini
merupakan acuan bagi perusahaan asuransi syariah di Indonesia terutama
menyangkut bagaimana akad-akad dalam bisnis asuransi syariah dan
ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengannya.
Pada suatu kesempatan, kami diskusi dengan Doktor Jafril Khalil dalam kaitan Fatwa DSN-MUI diatas, beliau pakar asuransi syariah yang
kebetulan disertasi doktornya tentang akad-akad asuransi. Kami
berkesimpulan bahwa akad-akad dalam asuransi syariah tidak hanya sebatas
pada akad Tabarru` dan mudharabah saja, akan tetapi beberapa akad-akad
tijarah lainya yang ada dalam fiqh Islam, seperti misalnya
al-musyarakah, al-wakalah, al-wadiah, asy-Syirkah, al-Musamahah, dan
sebagainya dibenarkan oleh syara` untuk digunakan dalam asuransi
syariah. Tinggal yang menjadi kajian managemen apakah marketable atau
tidak.
M.M. Billah, dalam kaitan dengan akad-akad
dalam asuransi syariah, lebih cenderung tidak menggunakan istilah
tabarru`, tapi menggunakan istilah al-musahamah (contribution/kontribusi).
Hal ini mungkin sebagai solusi dari perdebatan bahwa dalam akad
tabarru` tidak boleh ada pengembalian lagi (mudharabah). Karena premi
(tabarru`) sudah diikhlaskan dan hanya mengharapkan ridha Allah swt.
Sementara dalam prakteknya pada asuransi syariah saat ini.,
terutama pada term insurance (life) dan pada seluruh produk general
insurance terdapat yang disebut mudharabah, yang diberikan kepada
nasabah apabila tidak terjadi klaim. Disini terjadi kerancuan karena
disatu sisi dikatakan bahwa pada akad tabarru` tidak mengharapkan
pengembalian kecuali pahala dari Allah, tapi dalam prakteknya nasabah
mendapat pengembalian berupa mudharabah (bagi hasil) jika tidak terjadi
klaim.
Berdasarkan hukum Islam untuk membuat polis
takaful (asuransi syariah) harus ada subyek pokok yang beresiko, yang
mana atas subyek pokok tersebut, dua pihak (pengelola dan peserta) harus
menyetujui proposal (ijab) dan persetujuan (qabul) yang mana kedua
pihak setuju untuk berbagi tanggung jawab dalam menyediakan jaminan
materi yang memadai terhadap resiko yang nyata tapi tidak terduga atas
subyek pokok. Dengan kata lain ketentuan dalam polis takaful (asuransi
syariah) adalah proposal (ijab), penerimaan (qabul), penerbitan cover
note (dokumen sementara untuk polis yang disediakan pengelola bagi
peserta) dan pembayaran takaful kontribusi (al-musahamah).
Al Zuhaili juga dalam kitabnya menjelaskan
tentang Syarikat al-Musahamah. Syarikat Al Musahamah kata syaikh
al-Zuhaili adalah merupakan salah satu jenis syarikat harta (syarikah al
amwal) yang penting. Modal syarikat ini adalah terdiri dari modal-modal
kecil yang jumlahnya banyak, dan dimana setiap bagian tersebut disebut
saham, yang tidak boleh diperkecil lagi kecuali ditukarkan. Tanggung
jawab pemegang saham hanya sebesar saham yang dimilikinya. Pengelola dan
karyawannya digaji sebagai pegawai, tidak terkecuali apakah dia
sekaligus juga adalah salah satu pemegang saham.
Agus Haryadi memberi ilustrasi tentang konsep al-musahamah
seperti ketika kita ingin main bola, kemudian masing-masing iuran atau
kontribusi sesuai kemampuan yang dimiliki untuk keperluan bersama yaitu
beli bola. Kemudian bola terbelih dan dipakailah bersama. Setelah
permainan selesai kemudian bola tadi diberikan kepada seorang
diantaranya untuk dibawa pulang. Demikian seterusnya kadang bola
tersebut dipakai lagi bersama dan tidak jarang hanya dipakai salah satu
atau beberapa saja diantara mereka.
Konsep akad al-musamahah seperti ini lebih
mirip dengan konsep asuransi yang sementara ini banyak dipakai oleh
asuransi syariah yang ada di beberapa negara termasuk di Indonesia.
Dengan melandaskan diri pada prinsip takafuli,
asuransi syariah (terutama untuk asuransi jiwa) menerapkan dua bentuk
akad diawal penerimaan premi, yakni akad tabungan investasi dan akad
kontribusi. Akad tabungan investasi berdasarkan prinsip al-mudharabah
sementara kontribusi berdasarkan prinsip hibah. Hibah ini dilakukan
secara berjamaah dan mengandung efek saling menanggung. Besarnya hibah
sekitar 5% dari total premi, selebihnya (95%) akan masuk ke dalam
tabungan investasi nasabah. Perusahaan asuransi syariah akan menempatkan
dana tabungan dan kontribusi tadi pada proyek-proyek investasi yang
halal dan menguntungkan.
Sumber: Dikutip dari buku, Muhammad
Syakir Sula, “Asuransi Syariah (Life and General) – Konsep dan Sistem
Operasional”, Penerbit Gema Insani, Jakarta, 2004, Bab II, hal 38-46.
Red: Danu