Islam merupakan ajaran yang mengatur kehidupan dalam dimensi
akidah, ibadah, dan muamalah, baik muamalah itu hubungan antara manusia
dengan Allah, atau hubungan manusia dengan manusia lain dan alam sekitar. Tak
terkecuali dalam masalah ekonomi, syariah Islam juga telah mengatur dengan jelas dan mudah.
Dikatakan jelas dan mudah karena sebenarnya syariah Islam cukup
permisif dan mudah dipahami. Semuanya dapat dikatakan boleh, kecuali secara
jelas dan eksplisit dilarang dalam Al Quran atau bertentangan dengan Sunnah
Nabi Muhammad SAW.
Islam juga mengajarkan agar umatnya saling menolong.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat Al Quran, bahwa manusia diperintahkan
untuk saling menolong dalam kebaikan dan takwa, tapi tidak dalam kejahatan (QS.
Al-Maidah:2). Hal inilah yang menjadi salah satu alasan adanya Asuransi Syariah dan keharusan mengimplementasikannya dalam
kehidupan bermasyarakat.
Konsep Asuransi Syariah
Secara bahasa, asuransi dikenal dengan istilah at-ta’min
(saling menanggung), penanggung (operator) disebut mu’ammin, dan
tertanggung disebut mu’amman lahu. Musthafa Ahmad Zarqa memaknai asuransi syariah selain memakai sistem ta’min, juga
memadukan antara sistem ta’awun (saling menolong) dan tadhamun (saling
menanggung). Di Indonesia, asuransi syariah dikenal dengan istilah takaful
(menjamin atau saling menanggung) (Wirdyaningsih; 2005, 177-178). Sedangkan
menurut istilah, dijelaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
21/DSN-MUI/X/2001 Bagian Pertama mengenai Ketentuan Umum angka I, pengertian asuransi syariah (ta’min, takaful atau tadhamun) adalah
usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak
melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan
pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan)
yang sesuai dengan syariah.
Lalu, apa bedanya asuransi syariah dengan asuransi konvensional? Dari definisi
yang dikemukakan, asuransi syariah haruslah sesuai dengan syariah Islam, artinya
tidak bertentangan dengan Al Quran dan Hadits. Sebagaimana istilah “All
Risks” artinya semua dijamin (diperbolehkan), kecuali hal-hal yang dilarang
secara spesifik. Berkenaan dengan Asuransi Syariah, ada tiga hal yang dianggap biasa dalam
praktik bisnis asuransi konvensional tapi dalam praktik asuransi syariah dilarang, yakni gharar, maisir
dan riba.
Gharar artinya
adanya ketidakpastian sumber dana yang dipakai untuk membayar klaim dari
pemegang polis asuransi. Adanya spekulasi ini disebabkan dalam asuransi
konvensional memakai akad tabaduli atau perpindahan risiko (transfer
of risk). Ketidakpastian mencakup faktor-faktor antara lain, apakah
kerugian akan muncul, kapan terjadinya dan seberapa besar dampaknya. Pihak
Penanggung akan menutupi semua risiko yang tidak pasti dengan premi tetap yang
diperoleh dari pihak Tertanggung. Sedangkan dalam asuransi syariah, akad yang digunakan adalah akad takafuli
atau tolong menolong (sharing of risk). Sehingga dalam upaya menghindari
gharar, kontrak asuransi syariah dibuat sejelas mungkin dan tidak boleh
ambigu, baik dalam pokok permasalahan dan/atau ruang lingkup kontrak sendiri.
Maisir (judi)
artinya ada kemungkinan salah satu pihak diuntungkan sedangkan pihak lainnya
dirugikan. Dalam asuransi konvensional, peserta yang sudah membayar premi
hingga lunas akan merugi, jika tidak mendapat musibah atau kecelakaan, maka
tidak berhak mendapat apa-apa termasuk premi yang disetornya. Akan tetapi,
peserta diuntungkan jika belum lama menjadi anggota dan dana premi yang
disetorkan masih sedikit, tetapi mendapat klaim asuransi yang lebih besar.
Berbeda dengan asuransi syariah, maka peserta yang tidak mengalami musibah
akan mendapatkan premi yang disetornya kecuali dana yang dimasukkan ke dalam
dana tabarru.
Riba artinya ada kemungkinan dana asuransi yang terkumpul
dari pembayaran premi dibungakan. Dalam asuransi konvensional, dana yang
terkumpul dari peserta diinvestasikan dengan menggunakan prinsip bunga.
Sedangkan dalam asuransi syariah, dana peserta diinvestasikan dengan
menggunakan sistem yang dibenarkan syariah, khususnya musyarakah adan mudharabah.
Selain tiga hal yang dijelaskan di atas, pengelolaan dana
premi dalam asuransi konvensional dan asuransi syariah juga berbeda. Dalam asuransi konvensional,
peserta membayar premi dan dikelola dengan prinsip bunga. Sedangkan dalam asuransi syariah, dana dari peserta terbagi menjadi dunia,
yaitu dana takaful (kontribusi dari peserta sebagai jaminan atas dirinya
sendiri dan keluarganya) dan dana tabarru (sedekah untuk umat; prinsip
tolong menolong). Selanjutnya, dana ini diinvestasikan sesuai syariah Islam yang sudah
jelas tertuang dalam kontrak asuransi syariah.
Kerugian Asuransi Konvensional
Karena sifatnya yang mengandung gharar (ketidakpastian),
dalam empat dekade terakhir, industri asuransi konvensional mengalami kerugian
yang sangat besar akibat bencana yang ditimbulkan oleh ulah manusia ataupun
alam.
Salah satu kerugian terbesar karena ulah manusia dalam
sejarah industri asuransi adalah peristiwa World Trade Center (WTC) 9/11.
Kerugian yang diderita industri asuransi mencapai $50 miliar. Kerrugian ini
disebabkan adanya gharar yang muncul karena perhitungan Estimation
Maximum Losses (EML) atau Perkiraan Kerugian Maksimum. Kerugian yang muncul
akibat peristiwa WTC 9/11 jauh lebih besar dari perkiraan. (Muhaimin Iqbal;
2005, 9).
Gempa bumi dan tsunami bolehlah dianggap sebagai bencana
alam paling mengerikan dan dapat menimbulkan risiko bagi industri asuransi
konvensional. Contohnya gempa bumi yang terjadi di Meulaboh-Aceh, Indonesia
pada tanggal 26 Desember 2004 silam. Pada saat itu, terjadi gempa bumi
berkekuatan 9,0 skala Richter yang menyebabkan rentetan gelombang tsunami
yang menghantam sedikitnya enam negara Asia. Lebih dari 300.000 korban jiwa
tewas dan dilaporkan hilang. Meskipun demikian, kerugian asuransi jiwa
diperkirakan rendah, karena kota yang dilanda bencana memiliki kepadatan
penduduk rendah. Andaikata gempa terjadi di kota yang kepadatannya lebih
tinggi, maka kerugian yang diderita industri asuransi diperkirakan lebih besar.
(Muhaimin Iqbal; 2005, 10). Karena adanya unsur gharar, maka apabila
terjadi bencana alam yang sedemikian hebat di luar perkiraan, tentulah industri
asuransi konvensional akan menderita kerugian yang besar.
Asuransi Syariah Sebagai Solusi
Melihat permasalahan yang
ditimbulkan oleh asuransi konvensional, maka sudah saatnya umat Islam
mulai memikirkan asuransi syariah sebagai sebuah solusi yang menguntungkan bagi
kedua belah pihak. Mengapa harus beralih ke asuransi syariah? Jelas, karena
sebagai muslim sejati harus menjalankan segala aturan yang ditetapkan dalam
agama, tidak hanya ketika menghadap Allah, tapi juga dalam berinteraksi dalam
kehidupan sosial dan masyarakat. Islam adalah agama yang shalihun likuli
zaman wa makan (fleksibel dalam setiap masa dan waktu), tapi bukan berarti
mengubah aturan dalam agama itu sendiri.
Untuk menjadikan asuransi syariah agar terhindar dari unsur-unsur yang
diharamkan, kontrak asuransi tidak boleh merupakan jual beli, karena kontrak
ini rawan adanya gharar (ketidakpastian). Kontrak alternatif yang
ditawarkan seperti kontrak Mudharabah (berbagi keuntungan dan kerugian),
kontrak musyarakah (usaha dan patungan) dan kontrak kafalah (jaminan)
serta kontrak wakalah (perwakilan).
Referensi:
Iqbal, Muhaimin. 2005. Asuransi Umum Syariah dalam
Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Janwari, Yadi. 2005. Asuransi Syariah. Bandung:
Pustaka Bani Quraisy
Wirdyaningsih, dkk. 2005. Bank dan Asuransi Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana
sumber: salingmelindungi.com
red: danu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar