Kamis, 21 Maret 2013

Asuransi Syariah: Solusi Menghadapi Dunia Global


 Banner IIC Blog

Islam merupakan ajaran yang mengatur kehidupan dalam dimensi akidah, ibadah, dan muamalah, baik muamalah itu hubungan antara manusia dengan Allah, atau hubungan manusia dengan manusia lain dan alam sekitar. Tak terkecuali dalam masalah ekonomi, syariah Islam juga telah mengatur dengan jelas dan mudah. Dikatakan jelas dan mudah karena sebenarnya syariah Islam cukup permisif dan mudah dipahami. Semuanya dapat dikatakan boleh, kecuali secara jelas dan eksplisit dilarang dalam Al Quran atau bertentangan dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Islam juga mengajarkan agar umatnya saling menolong. Sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat Al Quran, bahwa manusia diperintahkan untuk saling menolong dalam kebaikan dan takwa, tapi tidak dalam kejahatan (QS. Al-Maidah:2). Hal inilah yang menjadi salah satu alasan adanya Asuransi Syariah dan keharusan mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat.


Konsep Asuransi Syariah
Secara bahasa, asuransi dikenal dengan istilah at-ta’min (saling menanggung), penanggung (operator) disebut mu’ammin, dan tertanggung disebut mu’amman lahu. Musthafa Ahmad Zarqa memaknai asuransi syariah selain memakai sistem ta’min, juga memadukan antara sistem ta’awun (saling menolong) dan tadhamun (saling menanggung). Di Indonesia, asuransi syariah dikenal dengan istilah takaful (menjamin atau saling menanggung) (Wirdyaningsih; 2005, 177-178). Sedangkan menurut istilah, dijelaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 Bagian Pertama mengenai Ketentuan Umum angka I, pengertian asuransi syariah (ta’min, takaful atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

Lalu, apa bedanya asuransi syariah dengan asuransi konvensional? Dari definisi yang dikemukakan, asuransi syariah haruslah sesuai dengan syariah Islam, artinya tidak bertentangan dengan Al Quran dan Hadits. Sebagaimana istilah “All Risks” artinya semua dijamin (diperbolehkan), kecuali hal-hal yang dilarang secara spesifik. Berkenaan dengan Asuransi Syariah, ada tiga hal yang dianggap biasa dalam praktik bisnis asuransi konvensional tapi dalam praktik asuransi syariah dilarang, yakni gharar, maisir dan riba.

Gharar artinya adanya ketidakpastian sumber dana yang dipakai untuk membayar klaim dari pemegang polis asuransi. Adanya spekulasi ini disebabkan dalam asuransi konvensional memakai akad tabaduli atau perpindahan risiko (transfer of risk). Ketidakpastian mencakup faktor-faktor antara lain, apakah kerugian akan muncul, kapan terjadinya dan seberapa besar dampaknya. Pihak Penanggung akan menutupi semua risiko yang tidak pasti dengan premi tetap yang diperoleh dari pihak Tertanggung. Sedangkan dalam asuransi syariah, akad yang digunakan adalah akad takafuli atau tolong menolong (sharing of risk). Sehingga dalam upaya menghindari gharar, kontrak asuransi syariah dibuat sejelas mungkin dan tidak boleh ambigu, baik dalam pokok permasalahan dan/atau ruang lingkup kontrak sendiri.

Maisir (judi) artinya ada kemungkinan salah satu pihak diuntungkan sedangkan pihak lainnya dirugikan. Dalam asuransi konvensional, peserta yang sudah membayar premi hingga lunas akan merugi, jika tidak mendapat musibah atau kecelakaan, maka tidak berhak mendapat apa-apa termasuk premi yang disetornya. Akan tetapi, peserta diuntungkan jika belum lama menjadi anggota dan dana premi yang disetorkan masih sedikit, tetapi mendapat klaim asuransi yang lebih besar. Berbeda dengan asuransi syariah, maka peserta yang tidak mengalami musibah akan mendapatkan premi yang disetornya kecuali dana yang dimasukkan ke dalam dana tabarru.

Riba artinya ada kemungkinan dana asuransi yang terkumpul dari pembayaran premi dibungakan. Dalam asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari peserta diinvestasikan dengan menggunakan prinsip bunga. Sedangkan dalam asuransi syariah, dana peserta diinvestasikan dengan menggunakan sistem yang dibenarkan syariah, khususnya musyarakah adan mudharabah.

Selain tiga hal yang dijelaskan di atas, pengelolaan dana premi dalam asuransi konvensional dan asuransi syariah juga berbeda. Dalam asuransi konvensional, peserta membayar premi dan dikelola dengan prinsip bunga. Sedangkan dalam asuransi syariah, dana dari peserta terbagi menjadi dunia, yaitu dana takaful (kontribusi dari peserta sebagai jaminan atas dirinya sendiri dan keluarganya) dan dana tabarru (sedekah untuk umat; prinsip tolong menolong). Selanjutnya, dana ini diinvestasikan sesuai syariah Islam yang sudah jelas tertuang dalam kontrak asuransi syariah.

Kerugian Asuransi Konvensional                                                                                                 
Karena sifatnya yang mengandung gharar (ketidakpastian), dalam empat dekade terakhir, industri asuransi konvensional mengalami kerugian yang sangat besar akibat bencana yang ditimbulkan oleh ulah manusia ataupun alam.

Salah satu kerugian terbesar karena ulah manusia dalam sejarah industri asuransi adalah peristiwa World Trade Center (WTC) 9/11. Kerugian yang diderita industri asuransi mencapai $50 miliar. Kerrugian ini disebabkan adanya gharar yang muncul karena perhitungan Estimation Maximum Losses (EML) atau Perkiraan Kerugian Maksimum. Kerugian yang muncul akibat peristiwa WTC 9/11 jauh lebih besar dari perkiraan. (Muhaimin Iqbal; 2005, 9).

Gempa bumi dan tsunami bolehlah dianggap sebagai bencana alam paling mengerikan dan dapat menimbulkan risiko bagi industri asuransi konvensional. Contohnya gempa bumi yang terjadi di Meulaboh-Aceh, Indonesia pada tanggal 26 Desember 2004 silam. Pada saat itu, terjadi gempa bumi berkekuatan 9,0 skala Richter yang menyebabkan rentetan gelombang tsunami  yang menghantam sedikitnya enam negara Asia. Lebih dari 300.000 korban jiwa tewas dan dilaporkan hilang. Meskipun demikian, kerugian asuransi jiwa diperkirakan rendah, karena kota yang dilanda bencana memiliki kepadatan penduduk rendah. Andaikata gempa terjadi di kota yang kepadatannya lebih tinggi, maka kerugian yang diderita industri asuransi diperkirakan lebih besar. (Muhaimin Iqbal; 2005, 10). Karena adanya unsur gharar, maka apabila terjadi bencana alam yang sedemikian hebat di luar perkiraan, tentulah industri asuransi konvensional akan menderita kerugian yang besar.

Asuransi Syariah Sebagai Solusi
            Melihat permasalahan yang ditimbulkan oleh asuransi konvensional, maka sudah saatnya  umat Islam mulai memikirkan asuransi syariah sebagai sebuah solusi yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Mengapa harus beralih ke asuransi syariah? Jelas, karena sebagai muslim sejati harus menjalankan segala aturan yang ditetapkan dalam agama, tidak hanya ketika menghadap Allah, tapi juga dalam berinteraksi dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Islam adalah agama yang shalihun likuli zaman wa makan (fleksibel dalam setiap masa dan waktu), tapi bukan berarti mengubah aturan dalam agama itu sendiri.

Untuk menjadikan asuransi syariah agar terhindar dari unsur-unsur yang diharamkan, kontrak asuransi tidak boleh merupakan jual beli, karena kontrak ini rawan adanya gharar (ketidakpastian). Kontrak alternatif yang ditawarkan seperti kontrak Mudharabah (berbagi keuntungan dan kerugian), kontrak musyarakah (usaha dan patungan) dan kontrak kafalah (jaminan) serta kontrak wakalah (perwakilan).

Referensi:
Iqbal, Muhaimin. 2005. Asuransi Umum Syariah dalam  Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Janwari, Yadi. 2005. Asuransi Syariah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy
Wirdyaningsih, dkk. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana

sumber: salingmelindungi.com
red: danu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar